Manajemen - Penanganan Korban Bencana
Artikel ini diambil dari tulisan dr. Syaiful Saanin, SpBS. Artikel yang sangat ringkas namun padat dan lengkap tentang penanganan korban bencana dan tindakan-tindakan pada pasien gawat darurat. Sangat cocok digunakan sebagai bacaan bagi mahasiswa keperawatan atau profesi kesehatan yang lain atau bagi praktisi di bidang emergensi dan bencana. Berikut artikelnya :
PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat
cedera multipel merupakan tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti
hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah
kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit
hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate,
terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat
kematian kemudian, late, karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga
beberapa minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya
oksigenasi adekuat pada organ vital (ventilasi tidak adekuat, gangguan
oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi end-organ tidak memadai), cedera
SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat dan / atau rusaknya pusat
regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini mempunyai
pola yang dapat diprediksi (mekanisme cedera, usia, sex, bentuk tubuh, atau
kondisi lingkungan). Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien,
mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan
sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau
transfer kefasilitas sesuai.
Setiap bencana selalu menampilkan bahaya
dan kesulitannya masing-masing. Yang akan dibicarakan berikut ini antara lain
adalah petunjuk umum dalam mengelola korban bencana disamping untuk kegawatan
sehari-hari. Mungkin diperlukan modifikasi oleh pemegang komando bila dianggap
diperlukan perubahan.
Bencana adalah setiap keadaan dimana
jumlah pasien sakit atau cedera melebihi kemampuan sistem gawat darurat yang
tersedia dalam memberikan perawatan adekuat secara cepat dalam usaha
meminimalkan kecacadan atau kematian (korban massal), dengan terjadinya
gangguan tatanan sosial, sarana, prasarana (Bencana kompleks bila disertai
ancaman keamanan). Bencana mungkin disebabkan oleh ulah manusia atau alam.
Keberhasilan pengelolaan bencana memerlukan perencanaan sistem pelayanan gawat
darurat lokal, regional dan nasional, pemadam kebakaran / rescue, petugas hukum
dan masyarakat. Kesiapan rumah sakit serta kesiapan pelayanan spesialistik
harus disertakan dalam mempersiapkan perencanaan bencana. Secara nasional
kegiatan penanggulangan gawat darurat sehari-hari maupun dalam bencana diatur
dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT S/B) yang harus
diterapkan oleh semua fihak termasuk masyarakat awam, dibagi kedalam subsistem
pra rumah sakit, rumah sakit dan antar rumah sakit.
Proses pengelolaan bencana diatur dalam
Sistem Komando Bencana. Kendali biasanya ditangan Bakornas-PB (Banas) /
Satkorlak-PB / Satlak-PB, namun bisa juga pada penegak hukum seperti pada kasus
kriminal / terorisme atau penyanderaan. Kelompok lain bisa membantu pemegang
kendali. Jaringan transportasi dan komunikasi antar instansi harus sudah
dimiliki untuk mendapatkan pengelolaan bencana yang berhasil.
Tingkat respons atas bencana.
Akan menentukan petugas dan sarana apa
yang diperlukan ditempat kejadian :
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang
dapat dikelola oleh petugas sistim gawat darurat dan penyelamat lokal tanpa
memerlukan bantuan dari luar organisasi.
Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi
atau sangat membebani petugas sistim gawat darurat dan penyelamat lokal hingga
membutuhkan pendukung sejenis serta koordinasi antar instansi. Khas dengan
banyaknya jumlah korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang
melebihi kemampuan sumber sistim gawat darurat dan penyelamat baik lokal atau
regional. Korban yang tersebar pada banyak lokasi sering terjadi. Diperlukan
koordinasi luas antar instansi.
TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien
berdasar beratnya cedera atau penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan
mengalami perburukan klinis segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat
darurat medik serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk
tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup.
Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan proses yang sinambung
sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial harus
dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini
harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah.
Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital,
perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera, usia, dan keadaan yang diketahui
atau diduga membawa maut. Temuan yang mengharuskan peningkatan pelayanan
antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat, tanda vital
tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya.
Survei primer membantu menentukan kasus
mana yang harus diutamakan dalam satu kelompok triase (misal pasien obstruksi
jalan nafas dapat perhatian lebih dibanding amputasi traumatik yang stabil). Di
UGD, disaat menilai pasien, saat bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik,
hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana,
sumber daya dan tenaga tidak memadai hingga berpengaruh pada sistem triase.
Tujuan triase berubah menjadi bagaimana memaksimalkan jumlah pasien yang bisa
diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien cedera serius
harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan. Triase dalam
keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik.
Saat ini tidak ada standard nasional baku
untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging
system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid
Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana
mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data
pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk mengindentifikasi dan mencatat
kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau
cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera
berat yang memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera
untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala
atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien
memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak
akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera
dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada
tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang
belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan
cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan
pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan
lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan
jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis
membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban
dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak
memerlukan tindakan dan transportasi, dan Prioritas Kelima (Putih)yaitu
kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan
kelas, ganti tag / label yang sesuai dan pindahkan kekelompok sesuai.
Triase Sistim METTAG.
Pendekatan yang dianjurkan untuk
memprioritasikan tindakan atas korban. Resusitasi ditempat.
Triase Sistem Penuntun Lapangan START.
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan
mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental (RPM : R= status Respirasi ; P
= status Perfusi ; M = status Mental) untuk memastikan kelompok korban
(lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan transport segera atau tidak,
atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong
secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian
segera atau apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi diambulans.
Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan
kode warna yang sejenis bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan
START. Resusitasi di ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.
PENILAIAN DITEMPAT DAN PRIORITAS TRIASE
Bila jumlah korban serta parahnya cedera
tidak melebihi kemampuan pusat pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan
cedera sistem berganda ditindak lebih dulu. Bila jumlah korban serta parahnya
cedera melebihi kemampuan *) dst dibawah algoritma
Algoritma Sistem START :
Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah =
Immediate (Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ; Hijau = Minor.
Semua korban diluar algoritma diatas :
Kuning.
Disini tidak ada resusitasi dan C-spine
control.
Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah
kepasien berikut setelah tagging.
Pada sistem ini tag tidak diisi, kecuali
jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.
*) tenaga dan fasilitas pusat pelayanan,
pasien dengan peluang hidup terbesar dengan paling sedikit manghabiskan waktu,
peralatan dan persediaan, ditindak lebih dulu. Ketua Tim Medik mengatur Sub Tim
Triase dari Tim Tanggap Pertama (First Responders) untuk secara cepat menilai
dan men tag korban. Setelah pemilahan selesai, Tim Tanggap Pertama melakukan
tindakan sesuai kode pada tag. (Umumnya tim tidak mempunyai tugas hanya sebagai
petugas triase, namun juga melakukan tindakan pasca triase setelah triase selesai).
1. keberadaan darah universal dan cairan.
2. Tanggap pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan bahaya, keamanan dan
jumlah korban dan kebutuhan untuk menentukan tingkat respons yang memadai
(Rapid Health Assessment / RHA).
3. koordinator propinsi (Kadinkes Propinsi) untuk mengumumkan bencana serta
mengirim kebutuhan dan dukungan antar instansi sesuai yang ditentukan oleh
beratnya kejadian (dari kesimpulan RHA).
4. dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu tersedia :
- Komando Bencana.
- Komunikasi.
- Ekstrikasi/Bahaya.
- Triase Primer.
- Triase Sekunder.
- Perawatan.
- Angkut atau Transportasi.
5. dan tunjuk area sektor bencana :
- Komando / Komunikasi Bencana.
- Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
- Bencana.
- Ekstrikasi / Bahaya.
- Triase.
- Tindakan Primer.
- Tindakan Sekunder
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana
7. Pasca Musibah.
8. Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa
Sektor Tindakan Utama dimana korban kelompok merah dan kuning yang menunggu
transport dikumpulkan untuk lebih mengefisienkan persedian dan tenaga medis
dalam resusitasi-stabilisasi.
TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa
saja petugas yang selesai melakukan triase) mulai melakukan stabilisasi dan
tindakan bagi korban berdasar prioritas triase, dan kemudian mengevakuasi
mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode prioritas. Kode merah dipindahkan ke
Area Tindakan Utama terlebih dahulu.
TRANSPORTASI KORBAN
Koodinator Transportasi mengatur
kedatangan dan keberangkatan serta transportasi yang sesuai. Koordinator
Transportasi bekerjasama dengan Koordinator Medik menentukan rumah sakit
tujuan, agar pasien trauma serius sampai kerumah sakit yang sesuai dalam
periode emas hingga tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya. Ingat untuk
tidak membebani RS rujukan melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang kurang
serius dikirim ke RS utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS).
PERIMETER
Perimeter Terluar.
Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi.
Petugas keamanan mengatur perimeter sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat
dan kendaraan masuk kedaerah berbahaya. Perimeter seluas mungkin untuk mencegah
yang tidak berkepentingan masuk dan memudahkan kendaraan gawat darurat masuk
dan keluar.
Jalur untuk Transport Korban
Petugas keamanan bersama petugas medis
menetapkan perimeter sekitar lokasi bencana yang disebut Zona Panas. Ditentukan
jalur yang dinyatakan aman untuk memindahkan korban ke perimeter kedua atau
zona dimana berada Area Tindakan Utama. Tidak seorangpun diizinkan melewati
perimeter Zona Panas untuk mencegah salah menempatkan atau memindahkan pasien
secara tidak aman tanpa izin. Faktor lain yang mempengaruhi kemantapan Zona
Panas antaranya lontaran material, api, jalur listrik, bangunan atau kendaraan
yang tidak stabil atau berbahaya.
Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas
keamanan mengatur semua kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas rescue,
pemadaman api, evakuasi, bahan berbahaya dll. Bila petugas keamanan melihat
keadaan berpotensi bahaya yang bisa membunuh penolong atau korban, ia punya
wewenang menghentikan atau merubah operasi untuk mecegah risiko lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat
bekerja bersama secara cepat dan efektif dibawah satu sistem komando yang
digunakan dan dimengerti, untuk menyelamatkan hidup, untuk meminimalkan risiko
cedera serta kerusakan.
PENILAIAN AWAL.
Penilaian awal mencakup protokol
persiapan, triase, survei primer, resusitasi-stabilisasi, survei sekunder dan
tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik absolut tidak
dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang diketakui pada awal
proses. Bila tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkah-langkah survei
primer. Kondisi pengancam jiwa diutamakan.
Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway
and C-spine control, breathing, circulation and hemorrhage control, disability,
exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama.
Pastikan udara menuju paru-paru tidak terhambat. Temuan kritis seperti
obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan akibat penurunan
kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas hingga intubasi atau krikotiroidotomi
atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien
akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan kritis bisa tiadanya ventilasi spontan,
tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada yang
hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada atau adanya
defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga
pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari
hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan eksternal. Lihat vena leher
apakah terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung terdengar, pastikan sumber
perdarahan eksternal sudah diatasi. Tindakan pertama atas hipovolemia adalah
memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV besar secara perifer di ekstremitas
atas. Kontrol perdarahan eksternal dengan penekanan langsung atau pembedahan,
dan tindakan bedah lain sesuai indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan
lakukan pemeriksaan motorik. Tentukan adakah cedera kepala atau kord spinal
serius. Periksa ukuran pupil, reaksi terhadap cahaya, kesimetrisannya. Cedera
spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha
bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu
atau hilang serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan
hipertensi intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya
paraplegia atau kuadriplegia menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan
kewaspadaan spinal dan pemberian metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera
(kontroversial). Bila usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi tinggi kord
leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur
pasien dan mengontrol lingkungan segera. Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan
lengkap. Pada saat yang sama mulai tindakan pencegahan hipotermia yang
iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan memberikan infus hangat,
selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring
dan diagnostik yang dilakukan bersama survei primer. Pasang lead ECG dan
monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut. Monitor memberi data
penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa nasogastrik untuk dekompresi
lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater Foley
kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum / labia
major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk menyingkirkan
cedera urethral sebelum kateterisasi.
RESUSITASI DAN PENILAIAN KOMPREHENSIF
Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan
diagnosis dan melakukan intervensi, lanjutkan sampai kondisi pasien stabil,
tindakan diagnosis sudah lengkap, dan prosedur resusitatif serta tindakan bedah
sudah selesai. Usaha ini termasuk kedalamnya monitoring tanda vital, merawat
jalan nafas serta bantuan pernafasan dan oksigenasi bila perlu, serta
memberikan resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu
beberapa liter kristaloid dalam 24 jam untuk mempertahankan volume
intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta keluaran urin. Berikan
darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan yang tidak
terkontrol dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik capai
resusitasi adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran
urin normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter
(kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa membantu.
Survei Sekunder.
Formalnya dimulai setelah melengkapi
survei primer dan setelah memulai fase resusitasi. Pada saat ini kenali semua
cedera dengan memeriksa dari kepala hingga jari kaki. Nilai lagi tanda vital,
lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk menilai respons atas
resusitasi dan untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari riwayat, termasuk
laporan petugas pra RS, keluarga, atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting
termasuk masalah medis sebelumnya, alergi dan medikasi sebelumnya, status
immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar kecelakaan. Data ini
membantu mengarahkan survei sekunder mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan
luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis
pasien secara umum.
Pemeriksaan Fisik Berurutan.
Diktum “jari atau pipa dalam setiap
lubang“ mengarahkan pemeriksaan. Periksa setiap bagian tubuh atas adanya
cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi. Periksa lengkap dari
kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya.
PEMERIKSAAN PENCITRAAN DAN LABORATORIUM.
Pemeriksaan radiologis memberikan data
diagnostik penting yang menuntun penilaian awal. Saat serta urutan pemeriksaan
adalah penting namun tidak boleh mengganggu survei primer dan resusitasi.
Pastikan hemodinamik cukup stabil saat membawa pasien keruang radiologi.
Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal.
Paling penting adalah jenis dan x-match
darah yang harus selesai dalam 20 menit. Gas darah arterial juga penting namun
kegunaannya dalam pemeriksaan serial digantikan oleh oksimeter denyut.
Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan, dengan pengertian bahwa dalam
perdarahan akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak hingga mobilisasi otogen
cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan
hematuria tersembunyi. Skrining urin untuk penyalahguna obat dan alkohol, serta
glukosa, untuk mengetahui penyebab penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki.
Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum, parameter koagulasi, hitung jenis
darah, dan pemeriksaan laboratorium umum lainnya kurang berguna saat 1-2 jam
pertama dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi.
PENUTUP.
Indonesia adalah super market bencana.
Semua petugas medis bisa terlibat dalam pengelolaan bencana. Semua petugas
wajib melaksanakan Sistim Komando Bencana dan berpegang pada SPGDT-S/B pada
semua keadaan gawat darurat medis baik dalam keadaan bencana atau sehari-hari.
Semua petugas harus waspada dan memiliki pengetahuan sempurna dalam peran
khusus dan pertanggung-jawabannya dalam usaha penyelamatan pasien.
Karena
banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua petugas harus
berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan bencana agar
lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.
dikutip dari http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery
Leave a Comment