Budak dan Orang Merdeka
Dalam sejarahnya, budak identik dengan keterbelakangan dan kebodohan. Seringkali mereka ditempatkan dan diperlakukan layaknya binatang, yang diawasi dengan cemeti di tangan. Sesekali cemeti itu dipukulkan bila si budak bermalas-malasan.
Jika kita merasa terdidik, terpelajar, atau berpendidikan, jadilah pribadi yang selalu lebih tanggap. Marahi diri sendiri sebelum dimarahi orang lain. Ingatkan diri sebelum orang lain merasa perlu mengingatkan.
Kemarahan itu bisa bertingkat-tingkat. Diam bisa juga menjadi pertanda marah. Sindiran juga termasuk tanda-tanda marah. Pandangan yang menajam, meski tanpa gerakan atau suara, juga isyarat marah. Setelah itu, jika masih juga tak "dipahami", keluarlah kata-kata mulai dari yang tertahan-tahan hingga yang meluap-luap. Bahkan terkadang bisa dibarengi pukulan dan seterusnya.
Tahulah kita, manusia tipe seperti apa kira-kira yang pantas menjadi objek kemarahan yang keras itu. Haruskah kita juga mendapat perlakuan yang serupa, atau cukup hanya dengan isyarat? Anak pintar cukup dikasih PR, mereka lalu benar-benar mengerjakannya. Tapi buat mereka yang bandel, mereka perlu diancam hukuman lebih dulu untuk bisa benar-benar disiplin mengerjakannya. Begitu juga penjahat kelas kakap, mereka tak mau tahu soal peraturan, undang-undang atau himbauan. Dijeblosin penjara aja belum kapok. Baru setelah dilumpuhkan dengan timah panas, cacat, e dia mau sadar. Begitulah mental budak, selalu menunggu dan bergantung pada ketegasan pihak lain.
Allah juga bisa murka. Agar mau sadar, apakah kita harus menunggu murka Allah dengan kedatangan azab-Nya yang maha besar, atau cukup dengan isyarat-isyarat kecil-Nya? Berbenahlah sebelum benar-benar terlambat, lalu kita masuk kategori manusia-manusia kriminal di hadapan-Nya.
Al Faqir Ilallah |
Leave a Comment