Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Pernafasan (Seri 2): Asma

 

Asma adalah gangguan inflamasi kronis pada saluran udara yang mengakibatkan obstruksi aliran udara intermiten dan reversibel pada bronkiolus (Sommer, et al, 2013). Asma adalah penyakit inflamasi kronis pada saluran udara yang ditandai dengan hiperresponsif, edema mukosa, dan produksi lendir. Peradangan ini akhirnya menyebabkan episode berulang gejala asma: batuk, sesak dada, mengi, dan dispnea. Penderita asma mungkin mengalami periode bebas gejala bergantian dengan eksaserbasi akut yang berlangsung dari menit ke jam atau hari (Surrena, 2010).

Asma, penyakit kronis yang paling umum pada masa kanak-kanak, dapat dimulai pada usia berapa pun. Faktor risiko asma termasuk riwayat keluarga, alergi (faktor terkuat), dan paparan kronis terhadap iritasi atau alergen saluran napas (misalnya, rumput, serbuk sari gulma, jamur, debu, atau hewan). Pemicu umum gejala asma dan eksaserbasi termasuk iritasi saluran napas (misalnya, polutan, dingin, panas, bau menyengat, asap, parfum), olahraga, stres atau gangguan emosi, rinosinusitis dengan postnasal drip, obat-obatan, infeksi saluran pernapasan akibat virus, dan refluks gastroesofagus (Surrena, 2010).

Patofisiologi

Peradangan saluran napas, dengan hyperresponsiveness saluran napas terkait, adalah ciri yang mendasari asma terlepas dari apakah gejala dipicu oleh paparan alergi, iritan atau kombinasi keduanya. Hiperresponsivitas jalan nafas menyebabkan 'respon berlebih' dari jalan nafas ke berbagai rangsangan seperti alergen dan iritan, mengakibatkan penyempitan saluran udara dan pembatasan aliran udara variabel dengan gejala intermiten.

Peradangan yang terus-menerus menyebabkan peningkatan otot polos, proliferasi pembuluh darah di dinding saluran napas, dan peningkatan jumlah sel goblet penghasil lendir.

Manifestasi Klinis

Gejala asma yang paling umum adalah batuk (dengan atau tanpa produksi lendir), dispnea, dan mengi (pertama saat ekspirasi, kemudian mungkin saat inspirasi juga). Serangan asma sering terjadi pada malam hari atau dini hari. Eksaserbasi asma sering kali didahului dengan peningkatan gejala selama beberapa hari, tetapi dapat dimulai secara tiba-tiba. Ekspirasi membutuhkan usaha dan berlangsung lama. Saat eksaserbasi berlanjut, sianosis sentral sekunder akibat hipoksia berat dapat terjadi. Gejala tambahan, seperti diaforesis, takikardia, dan tekanan nadi melebar, dapat terjadi. Pada asma akibat olahraga: gejala maksimal selama olah raga, tidak adanya gejala nokturnal, dan terkadang hanya gambaran tentang sensasi "tercekik" selama olah raga. Bila tidak segera ditangani bisa menjadi status asma, kondisi yang parah dan terus menerus dan mengancam jiwa. Eksim, ruam, dan edema sementara adalah reaksi alergi yang mungkin terlihat dari asma (Surrena, 2010).

Sommer et al (2013) membagi diagnosis asma didasarkan pada gejala dan diklasifikasikan ke dalam salah satu dari empat kategori berikut:

-          Intermiten ringan - Gejala muncul kurang dari dua kali seminggu.

-          Tetap ringan - Gejala muncul lebih dari dua kali seminggu tetapi tidak setiap hari.

-          Tetap ssedang - Gejala harian terjadi bersamaan dengan eksaserbasi dua kali seminggu.

-          Tetap parah - Gejala muncul terus-menerus, bersamaan dengan seringnya eksaserbasi yang membatasi aktivitas fisik dan kualitas hidup klien.

 
Sebelum serangan asma (https://med.virginia.edu)

Selama serangan asma (https://med.virginia.edu)

Prosedur Diagnostik

Pemeriksaan laboratorium: Gas Darah Arteri (GDA) mungkin didapatkan hipoksemia, hiperkarbia, asidosis respiratorik. Bila disertai infeksi akan terjadi leukositosis, peningkatan eosinofil pada asma tipe alergi. Pemeriksaan sel darah merah bisa terjadi polisitemia.

Radiologi: Foto Rontgen dada diperlukan untuk mengetahui adanya infeksi dan kemungkinan penyakit kronik

Tes Fungsi Paru (TFP): Pada asma didapatkan volume-volume paru meningkat, tetapi kapasitas paru normal.

 

Penatalakanaan

-          Bronkhodilator, adalah obat yang menyebabkan otot bronkhus relaks. Bronkhodilator dibagi menjadi obat-obat simpatomimetik (contoh: Ventolin) dan methyl-xanthine (contoh: Aminophylline). Obat ini diberikan secara inhalasi karena langsung bekerja di paru dan efek samping yang rendah.

-          Anticholinegic : sama dengan bronkhodilator

-          Anti-inflamatory Agent (Kortikosteroid). Obat ini menurunkan udema dan iritasi pada bronkhus (misal: prednisolone)

-          Chromolyn Sodium, obat ini tidak berguna untuk menghentikan serangan, hanya digunakan untuk profilaksis atau diberikan awal sebelum bronkhodilator. Mekanisme kerjanya mencegah pelepasan histamin sehingga menurunkan bronkhospasme. Obat ini efektif digunakan 5 – 60 menit sebelum kontak dengan faktor pencetus dan memberikan efek 3 – 4 jam.

 

Pengkajian

Pengkajian keperawatan gangguan sistem pernafasan dilakukan melalui interview dan pemeriksaan fisik. Interview dilakukan untuk mengetahui keluhan, riwayat sakit saat ini dan masa lalu, riwayat penyakit keluarga dan gaya hidup. Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Baca juga: Pengkajian Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan

 

Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

Baca juga: Diagnosa Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan

 

Daftar Rujukan:

Departement of Pediatrics, University of Virginia. (n.d.), Asthma Attacks, https://med.virginia.edu/pediatrics/clinical-and-patient-services/patient-tutorials/asthma/asthma-attacks/. Diakses tanggal 16 Agustus 2020

Sommer, S., et all. (2013). RN Adult Medical Surgical Nursing Review Module Edition 9.0. ATI Nursing

Surrena, H. (Ed.). (2010). Handbook for Brunner and Suddarth's textbook of medical-surgical nursing. Lippincott Williams & Wilkins

Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2013). Clinical handbook for Brunner & Suddarth's textbook of medical-surgical nursing. Lippincott Williams & Wilkins.

 

No comments

Abi. Powered by Blogger.