Mengantuk Setelah Makan Kekenyangan, Berbahayakah Bagi Kesehatan?
Image by Freepik |
Dalam sebuah kitab yang berjudul Ringkasan Siyar A’lam An-nubula karangan Imam Adz-dzahabi, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bernah berkata “Aku tidak pernah merasakan kenyang semenjak usia enam belas tahun kecuali hanya satu kali.” Alasannya adalah karena dengan rasa kenyang dapat menaikkan berat badan, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, menyebabkan banyak tidur dan menurunkan semangat beribadah.
Ucapan Imam Syafi’i di atas seperti tidak pernah lekang waktu. Saat ini ucapan imam tersebut menggambarkan kondisi yang disebut dengan postprandial somnolence, food coma, after-dinner dip, postprandial sleepiness (Wikipedia, n.d) atau postprandial drowsiness (Kim & Lee, 2009). Postprandial berarti setelah makan sedangkan somnolence berarti mengantuk. Kondisi ini menggambarkan perasaan mengantuk setelah makan (Lewsley, 2021).
Pertanyaannya adalah bagaimanakah terjadinya rasa mengantuk setelah makan dan apakah ia berbahaya bagi kesehatan?
Terdapat beberapa teori yang telah menjelaskan penyebab mengantuk setelah makan. Tiga teori yang menonjol adalah: Redistribusi darah setelah makan, peningkatan serotonin serebral, dan interaksi usus-otak. Teori redistribusi darah setelah makan adalah teori lama yang menjelaskan bahwa terjadi rasa mengantuk karena pengalihan distribusi darah dari otak ke pembuluh darah mesenteric. Namun, teori ini ditentang oleh fakta bahwa regulasi serebral atau jantung mempertahankan suplai darah dan oksigen serebral dalam berbagai kondisi, termasuk olahraga(Kim & Lee, 2009). Beberapa karya dari kishino menunjukkan anjloknya aliran darah ke otak setelah mereka makan siang khususnya di antara orang-orang yang melewatkan sarapan pagi (Heid, 2019). Teori kedua menjelaskan adanya peningkatan hormon triptofan dan serotonin yang diinduksi oleh insulin postprandial menyebabkan timbulnya rasa mengantuk. Namun, hipotesis insulin sendiri justru menunjukkan kontradiksi teoritis dan eksperimental. Teori ketiga menyebutkan efek zat neuroaktif yang diproduksi dalam pencernaan pada pusat pengaturan tidur di otak. Namun, hipotesis ini tidak menawarkan mekanisme timbulnya rasa mengantuksetelah makan (Kim & Lee, 2009).
Hipothesis terbaru mengusulkan bahwa sinyal keadaan kenyang atau metabolisme yang diterima oleh hipotalamus melalui stimulasi darah atau saraf vagus, dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi area hipotalamus preoptik. Hipotesis tersebut didasari oleh studi sebelumnya yang menyatakan bahwa status metabolisme dan makan kenyang berhubungan dengan rasa kantuk. Dan faktanya, makanan tinggi kalori dari lemak, dilaporkan menyebabkan kantuk yang lebih hebat daripada makanan berkarbohidrat atau makanan rendah lemak berenergi. Dengan demikian, secara empiris, status energi dan rasa kenyang berhubungan dengan tidur (Kim & Lee, 2009). Sebuah studi pada pengemudi truk jarak pendek mengkonfirmasi bahwa yang makan siang porsi besar mengalami rasa kantuk daripada yang porsi hemat (Martins, Martini, & Moreno, 2019).
Lantas, apakah kondisi mengantuk setelah makan kenyang berbahaya bagi kesehatan? Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa mengantuk setelah makan adalah kondisi yang normal (Toh, 2021; Wikipedia, n.d). Namun, jika rasa kantuk timbul saat makan dalam porsi standar dan setiap hari maka kondisi ini dikatakan tidak wajar. Beberapa hal yang menyebabkan kondisi tersebut antara lain: Perubahan aliran darah ke otak dan aktivasi aktivitas sistem saraf parasimpatis; Hipoglikemia reaktif; Resistensi insulin; Stres oksidatif yang diinduksi makanan; Asupan lemak tinggi; Endotoksemia metabolic; dan Peradangan kronis (Kresser, 2021).
Eksplanasi di atas membuat saya kagum dengan perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah “Aku tidak pernah merasakan kenyang semenjak usia enam belas tahun kecuali hanya satu kali.” Alasannya adalah karena dengan rasa kenyang dapat menaikkan berat badan, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, menyebabkan banyak tidur dan menurunkan semangat beribadah. Untuk menjaga semangat ibadahnya, beliau tidak membiasanya makan hingga kenyang selama 38 tahun sisa hidupnya kecuali hanya sekali. Satu komitmen yang luar biasa dan menjadi teladan bagi pecinta kesehatan.
Referensi:
Hasan, M., (n.d). Ringkasan Siyar A'lam An-nubula': Biografi Sahabat, Tabiin, Tabiut Tabiin, dan Ulama Muslim, Volume 2. Penerbit Buku Islam Rahmatan.
Heid, M., (2019). Why Do You Get Sleepy After Eating? These Are the Top Theories. Time Magazine. Diakses tanggal 9 November 2019.
Kim, S. W., & Lee, B. I. (2009). Metabolic state, neurohormones, and vagal stimulation, not increased serotonin, orchestrate postprandial drowsiness. Bioscience Hypotheses, 2(6), 422-427.
Kresser, C., (2021). Postprandial Somnolence: Why a “Food Coma” Happens. Kresser Institute. Postprandial Somnolence: Why a “Food Coma” Happens - Kresser Institute. Diakses tanggal 9 November 2019.
Lewsley, J., (2021). Food coma: What to know about postprandial somnolence. https://www.medicalnewstoday.com/articles/food-coma. Medical New Today. Diakses pada tanggal 8 November 2022.
Martins, A. J., Martini, L. A., & Moreno, C. R. (2019). Prudent diet is associated with low sleepiness among short-haul truck drivers. Nutrition, 63, 61-68.
Toh, M.P., (2021). Q&A: Why We Experience Food Coma and How Healthy Eating Habits Help. Health Hub. https://www.healthhub.sg/live-healthy/1913/Your-Medical-Questions-Answered-Food-Coma. Diakses pada tanggal 9 November 2022
Wikipedia. Postprandial somnolence. https://en.wikipedia.org/wiki/Postprandial_somnolence#cite_note-Keys2017-1. Diakses pada tanggal 8 November 2022.
Leave a Comment