Asuhan Keperawatan Pasien dengan BPH


Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan pertumbuhan nonmalignan jaringan prostat yang umum terjadi pada pria lansia (Roehrborn, 2005). Bisa terjadi pada 30-40% pria, dan prevalensinya meningkat 70-80% pada mereka yang berusia lebih dari 80 tahun (Madersbacher, Sampson, Culig, 2019).

Penyebab BPH 

Penyebab terjadinya BPH masih belum diketahui secara jelas. Beberapa faktor resiko telah diidentifikasi berkaitan dengan terjadinya BPH, seperti bertambahnya usia, fungsi testis, sindrom metabolik, riwayat BPH dalam keluarga, obesitas, riwayat diabetes, dan mereka yang memiliki ras kulit hitam. Progesitas BPH bisa bertambah jika ada pengaruh diet, merokok, latihan/olahraga, peminum alkohol. Pengaruh rokok terhadap perkembangan BPH masih belum didukung evidence based yang kuat (Madersbacher, Sampson, Culig, 2019).

Tanda dan Gejala BPH 

Tanda dan Gejala BPH dapat diklasifikasikan menjadi dua, gejala-gejala penyimpanan (storage symptoms) dan gejala-gejala berkemih (Voiding symptoms). Gejala-gejala penyimpanan yang dialami oleh pasien meliputi frekuensi urin, urgensi urin, inkontinensia urin, nokturia, dysuria. Sedangkan gejala berkemih antara lain kesulitan memulai BAK, hesitancy (berkemih tidak puas), mengejan saat berkemih, penurunan aliran urin, intermittency (berkemih terus-menerus), dribbling (urin menetes), dan pengosongan urin tidak lengkap (Madersbacher, Sampson, Culig, 2019).

Patofisiologi dan Pohon Masalah

 
Gambar 1. Patofisiologi dan Pohon Masalah (Skinder, Zacharia, Studin, & Covino, 2016; Ackley, Ladwig, Makic, 2017)

Pengkajian Keperawatan

Penderita BPH adalah laki-laki biasanya berusia > 50 tahun. Keluhan utama adalah adanya gejala saluran kemih bagian bawah. Riwayat penyakit saat ini didapatkan gejala penyimpanan (Storage symptoms) dan gejala berkemih (Voiding symptoms). Kaji pasien adanya konsumsi air berlebih dan penggunaan diuretik.

Untuk menentukan Derajat BPH, bisa menggunakan International Prostate Symptom Score (IPSS) sebagaimana gambar di bawah:

International Prostate Symptom Score questionnaire.
Gambar 2. Skor gejala prostat internasional (Taneja et all, 2017)
 
Selain itu, stadium BPH dibagi menjadi 4 stadium yaitu:

Stadium I: Pasien tidak mengalami obstruksi signifikan dan tidak ada gejala lain. Mereka umumnya dapat diawasi dan dinasihati.

Stadium II: Pasien tidak mengalami obstruksi signifikan tetapi memiliki gejala yang mengganggu. Mereka umumnya dapat diobati sesuai gejalanya dengan obat-obatan seperti penghambat.

Stadium III: Pasien mengalami obstruksi signifikan terlepas dari gejalanya. Mereka akan membutuhkan perawatan yang lebih agresif seperti 5-a reductase inhibitors dan ditawarkan pilihan untuk intervensi bedah.

Stadium IV: Pasien mengalami komplikasi BPH klinis seperti retensi urin (akut atau kronis), batu kandung kemih, perdarahan berulang atau infeksi saluran kemih berulang. Mereka umumnya membutuhkan intervensi bedah

Pemeriksaan Penunjang  

Pemeriksaan rektal digital (PRD). Lakukan PRD untuk menilai ukuran, bentuk, dan konsistensi kelenjar prostat. Prostat yang membesar pada pemeriksaan sering kali tampak lunak, halus, berawa, bergerak, dan dengan sulkus yang tidak jelas. Catat adanya nodul atau indurasi, yang mungkin menandakan kanker prostat.

Kadar Prostate-specific antigen (PSA). Tingkat PSA sering berkorelasi dengan ukuran prostat; oleh karena itu, kadar PSA 1,5 ng / mL sering menunjukkan BPH.

Urinalisis. Urinalisis direkomendasikan sebagai langkah utama untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih (ISK), prostatitis, sistolitiasis, nefrolitiasis, kanker ginjal, dan kanker prostat sebagai penyebab gejala saluran kemih bagian bawah

Catatan berkemih. Mencatat waktu berkemih, volume urin, dan aktivitas terkait (seperti asupan cairan) dalam buku harian berkemih dapat membantu dalam diagnosis BPH, terutama pada pasien dengan frekuensi buang air kecil dalam waktu minimal 24 jam. Perlu dibedakan apakah gejala BPH dengan poliuria.

Pengukuran volume sisa paska berkemih. Pengukuran ini direkomendasikan untuk pasien dengan gejala sedang atau berat, yang ditentukan dengan skor International prostate symptoms score (IPSS) 8 atau lebih. Gejala BPH dapat dikaitkan dengan retensi urin, dan volume sisa yang banyak ditambah dengan pemeriksaan lain dapat menunjukkan BPH.

Ultrasonografi prostat. Ultrasonografi prostat transabdominal atau transrektal juga dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi secara akurat ukuran, bentuk, anatomi, dan potensi patologi prostat dengan cara yang minimal invasif, hemat biaya, dan dapat direproduksi.

Blood urea nitrogen (BUN) and kreatinin. Kadar BUN serum dan kreatinin dapat digunakan dalam mendiagnosis dan memantau BPH, meskipun penggunaan kadar ini dalam penilaian BPH awal masih kontroversial (Skinder, Zacharia, Studin, & Covino, 2016).

Terapi  

Watchful waiting. Untuk pria dengan gejala BPH ringan (IPSS kurang dari 8), disarankan Watchful waiting (menunggu dengan waspada). Ini termasuk janji tindak lanjut tahunan dengan riwayat dan pemeriksaan fisik untuk menentukan perkembangan gangguan dan mengevaluasi kembali pilihan pengobatan.

Antagonis reseptor alfa-adrenergik. Obat utama bagi pasien BPH. Obat-obatan ini menghambat reseptor adrenergik simpatis, menyebabkan relaksasi sel otot polos prostat dan kandung kemih.5 Hasilnya mengurangi penyempitan uretra dan peningkatan aliran urin mengurangi gejala BPH obstruktif.

Inhibitor 5-alfa-reductase. Obat juga merupakan obat utama yang berfungsi memblokir konversi testosteron menjadi DHT, menghambat hiperplasia prostat, mengurangi ukuran prostat, dan memperlambat perkembangan penyakit.

Tadalafil. Tadalafil menyebabkan relaksasi otot polos pada otot detrusor, prostat, dan sel vaskular dari saluran kemih, dan menurunkan hiperplasia prostat dan kandung kemih.

Agen Antikolinergik. Antikolinergik memblokir reseptor muskarinik pada otot detrusor dan memperbaiki gejala penyimpanan setelah kurang dari 12 minggu terapi.

Tindakan bedah. Pilihan yang disarankan termasuk open surgery, transurethral resection of the prostate (TURP), dan transurethral holmium laser enucleation of the prostate (HoLEP) (Skinder, Zacharia, Studin, & Covino, 2016).

Diagnosa Keperawatan

  1. Gangguan pola tidur b.d nokturia
  2. Retensi urin b.d obstruksi uretra
  3. Resiko inkontinensia urin urgensi d.d kerusakan kontraksi kandung kemih; relaksasi sfingter tidak terkedali
  4. Resiko infeksi d.d residu urin setelah berkemih (Ackley, Ladwig, Makic, 2017)

Intervensi Keperawatan

Retensi urin b.d obstruksi uretra (peningkatan tekanan uretra) d.d sensasi penuh pada kandung kemih, dribbling, disuria/anuria, distensi kandung kemih, residu urin 150 ml atau lebih

Luaran: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka eliminasi urin membaik, dengan kriteria hasil: Sensasi penuh pada kandung kemih menurun, Dribbling menurun, Disuria/anuria menurun, Distensi kandung kemih menurun, Residu urin menurun.

Intervensi: Perawatan retensi urin

Tindakan

Observasi

  1. Identifikasi penyebab retensi urin
  2. Monitor efek agen farmakologis
  3. Monitor intake dan output cairan
  4. Monitor tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi /perkusi

Terapeutik

  1. Sediakan privasi untuk berkemih
  2. Berikan rangsangan berkemih
  3. Lakukan maneuver crede, jika perlu
  4. Pasang kateter urin
  5. Fasilitasi berkemih dengan interval yang teratur

Edukasi

  1. Jelaskan penyebab retensi urin
  2. Anjurkan pasien atau keluarga mencatat output urin
  3. Ajarkan cara melakukan rangsangan berkemih

Tindakan: Kateterisasi urin

Observasi

  1. Periksa kondisi pasien (Kesadaran, TTV, daerah perineal, distensi KK, inkontinensia urin, refleks berkemih

Terapeutik

  1. Siapkan peralatan dan ruangan
  2. Siapkan pasien, bebaskan pakaian bawah dan posisikan dorsal rekumben (perempuan ) dan supine (laki-laki)
  3. Pasang sarung tangan
  4. Bersihkan daerah perineal atau preposium dengan cairan NaCl atau aquades
  5. Lakukan insersi kateter urin dengan menerapkan prinsip aseptik
  6. Sambungkan kateter urin dan urine bag
  7. Isi balon dengan NaCl 0.9% sesuai anjuran pabrik
  8. Fiksasi selang kateter di atas simpisis atau di paha
  9. Pastikan kantung urin ditempatkan lebih rendah dari kandung kemih
  10. Berikan label untuk pemasangan

Edukasi

  1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urin
  2. Anjurkan menarik nafas saat insersi selang kateter

Tindakan: Perawatan kateter urin

Observasi

  1. Monitor kepatenan kateter urin
  2. Monitor tanda dan gejala ISK
  3. Monitor tanda dan gejala obstruksi aliran urin
  4. Monitor kebocoran kateter, selang dan kantong urin

Terapeutik

  1. Gunakan teknik aseptik selama perawatan kateteer urin
  2. Pastikan selang dan kantor urin terbebas dari lipatan
  3. Pastikan ketinggian kantor urin tidak melebihi kandung kemih dan tidak pula dilantai
  4. Lakukan perawatan perineal 1x/hr
  5. Lakukan irigasi rutin dengan cairan isotonis untuk mencegah kolonisasi bakteri
  6. Kosongkan kantong urin jika telah terisi setengahnya
  7. Ganti kateter dan kantong urin sesuai protokol
  8. Lepaskan kateter urin sesuai keebutuhan
  9. Jaga privasi selama melakukan tindakan

Edukasi

  1. Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur, dan resiko sebelum pemasangan kateter

Tindakan: Manajemen medikasi

Observasi

  1. Identiffikasi penggunaan obat sesuai resep
  2. Identiffikasi kadaluwarsa, effektifitas dan efek samping obat
  3. Monitor kepatuhan meenjalani program pengobatan

Terapeutik

  1. Fasilitasi perubahan program pengobatan
  2. Ssediakan sumber informasi program pengobatan secara visual dan tertulis

Edukasi

  1. Ajarkan pasien dan keluarga cara mengelola obat (dosis, rute, penyimpanan dan waktu pemberian)
  2. Ajarkan cara mengurangi efek samping
  3. Anjurkan menghubungi petugas kesehatan jika terjadi efek samping obat.

Referensi

  1. Keong Tatt Foo. (2017). Pathophysiology of clinical benign prostatic hyperplasia. Asian Journal of Urology. 4(3): 152-157. https://doi.org/10.1016/j.ajur.2017.06.003.
  2. Johan Braeckman & Louis Denis. (2017).Management of BPH then 2000 and now 2016. Asian Journal of Urology, 4(3):138-147, https://doi.org/10.1016/j.ajur.2017.02.002.
  3. Kok Bin Lim. (2017). Epidemiology of clinical benign prostatic hyperplasia. Asian Journal of Urology. 4(3):148-151, https://doi.org/10.1016/j.ajur.2017.06.004.
  4. Madersbacher S, Sampson N, Culig Z. (2019). Pathophysiology of Benign Prostatic Hyperplasia and Benign Prostatic Enlargement: A Mini-Review. Gerontology;65:458-464. doi: 10.1159/000496289
  5. Roehrborn C. G. (2005). Benign prostatic hyperplasia: an overview. Reviews in urology, 7 Suppl 9(Suppl 9), S3–S14.
  6. Skinder, D., Zacharia, I., Studin, J., & Covino, J. (2016). Benign prostatic hyperplasia: A clinical review. Journal of the American Academy of PAs, 29(8), 19-23. httpa://doi: 10.1097/01.JAA.0000488689.58176.0a
  7. Taneja, Y., Ram, P., Kumar, S., Raj, K., Singh, C. K., Dhaked, S. K., & Jaipuria, J. (2017). Comparison of Visual Prostate Symptom Score and International Prostate Symptom Score in the evaluation of men with benign prostatic hyperplasia: A prospective study from an Indian population. Prostate international, 5(4), 158-161.
  8. Ackley, B. J., Ladwig, G. B., Makic, M. B. (2017). Nursing Diagnosis Handbook: An Evidence-Based Guide to Planning Care. Elsevier.

No comments

Abi. Powered by Blogger.