Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan SIstem Pernafasan (Seri 3): Tuberkulosis

 

Mycobacterium Tuberculosis

Tuberkulosis (TBC), penyakit menular yang terutama menyerang parenkim paru, paling sering disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat menyebar ke hampir semua bagian tubuh, termasuk lapisan meningen, ginjal, tulang, dan kelenjar getah bening. Infeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah terpapar. Penyakit ini kemudian aktif karena respons sistem kekebalan yang terganggu atau tidak memadai. Proses aktif dapat diperpanjang dan ditandai dengan remisi yang lama saat penyakit dihentikan, hanya diikuti oleh periode aktivitas baru. TBC adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia yang terkait erat dengan kemiskinan, malnutrisi, kepadatan penduduk, perumahan di bawah standar, dan perawatan kesehatan yang tidak memadai. Angka mortalitas dan morbiditas terus meningkat (Hinkle, & Cheever, 2013). Di Indonesia angka morbiditas TBC sebesar 0,4% (Riskesdas, 2018).

TBC ditularkan melalui droplets inhalation. Seseorang dengan TBC aktif mengeluarkan percikan-percikan yang mnegandung organisme tersebut. Orang yang rentan menghirup tetesan tersebut dan terinfeksi. Bakteri ditularkan ke alveoli dan berkembang biak. Reaksi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa. Onsetnya biasanya berbahaya (Hinkle, & Cheever, 2013).

Baca juga : Pengkajian Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan

Faktor Resiko

Beberapa faktor resiko TBC meliputi:

-        Kontak dekat dengan seseorang yang mengidap TB aktif

-        Penurunan kekebalan tubuh (misalnya, lansia, kanker, terapi kortikosteroid, dan HIV)

-        Pengguna narkoba suntikan dan alkoholisme

-       Orang yang tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai (mis., Tunawisma atau miskin, minoritas, anak-anak, dan dewasa muda)

-        Kondisi medis yang sudah ada sebelumnya, termasuk diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, dan malnutrisi

-        Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi (misalnya, Haiti, Asia Tenggara)

-        Pelembagaan (misalnya, fasilitas perawatan jangka panjang, penjara)

-        Tinggal di perumahan yang terlalu padat dan di bawah standar

-      Pekerjaan (mis., Pekerja perawatan kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas berisiko tinggi).

Manifestasi klinis:

-        Demam ringan, batuk, keringat malam, kelelahan, dan penurunan berat badan

-        Batuk nonproduktif, yang dapat berkembang menjadi sputum mukopurulen dengan hemoptisis

Prosedur diagnostik

-          Tes kulit TB (tes Mantoux); Tes QuantiFERON-TB Gold (QFT-G)

-          Foto rontgen dada

-          Hapusan basil tahan asam (BTA)

-          Kultur sputum

Penatalaksanaan

TB paru diobati terutama dengan obat antituberkulosis selama 6 sampai 12 bulan. Durasi pengobatan yang lama sangat penting. Pengobatan lini pertama: isoniazid atau INH (Nydrazid), rifampisin (Rifadin), pirazinamid, dan etambutol (Myambutol) setiap hari selama 8 minggu dan berlanjut hingga 4 sampai 7 bulan. Obat lini kedua: capreomycin (Capastat), ethionamide (Trecator), para-aminosalicylate sodium, dan cycloserine (Seromycin). Vitamin B (piridoksin) biasanya diberikan untuk menghilangkan efek INH.

Baca juga : Diagnosa Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan

 

Daftar Rujukan:

Balitbangkes, Kemenkes RI. (2018). Riskesdas 2018.

Departemen Kesehatan RI. (2008). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007.

Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2013). Clinical handbook for Brunner & Suddarth's textbook of medical-surgical nursing. Lippincott Williams & Wilkins.

No comments

Abi. Powered by Blogger.